Rabu, 12 Januari 2011

Lokakarya Pertama Ruang Belajar Masyarakat (RBM) Maros

Bertempat di Aula Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Kabupaten Maros, tanggal 12 Januari 2011, telah berlangsung lokakarya pembentukan Ruang Belajar Masyarakat (RBM) Maros yang dihadiri oleh representasi pelaku PNPM-MPd, Setrawan, LSM, Pers dan Stakeholders lainnya. Kegiatan ini difasilitasi oleh Satker Maros bekerjasama dengan fasilitator  P2SPP (Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif) Kabupaten Maros.
 

Kegiatan ini diawali dengan sosialisasi konsep pengembangan sistem Ruang Belajar Masyarakat (RBM) oleh faskab Integrasi PNPM-MPd sekaligus fasilitator  P2SPP Maros Ir.Sudirman. Dalam sosialisasi tersebut dipaparkan secara umum latar belakang, tujuan, sasaran dan strategi pengembangan RBM. Lebih lanjut dipaparkan bahwa konsep ruang belajar masyarakat merupakan salah satu wadah untuk melakukan akselerasi pelaksanaan pembangunan secara umum di Kabupten Maros dan PNPM-MPd secara khusus.  Wadah diharapkan menjadi tempat sharing sekaligus ruang belajar dalam peningkatan kapasitas dan  kepedulian terhadap pelaksanaan pembangunan di Maros.

Ir.Sudirman  mengharapkan wadah ini tidak hanya sekedar menjadi tempat untuk memikirkan kepentingan tertentu saja akan tetapi dapat menjadi representasi dari kebutuhan rakyat dan pengawalan terhadap kebijakan pemerintah yang berbasis perencanaan pemabangunan partisipatif.
 


Melalui  Ruang Belajar Masyarakat  ini pula maka kami mengajak dan meminta dukungan dari semua kalangan di Kabupaten Maros untuk menjadikan PNPM - MPd Kabupaten Maros Tahun 2011 menjadi "PNPM - MPd bersih dan berkualitas serta disegani menuju integrasi perencanaan pembangunan partisipatif dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat". Untuk menuju PNPM -MPd yang bersih maka kami menyediakan media pengaduan program melalui kotak pengaduan, layanan sms, fax.


Lokakarya di lanjutkan dengan pembentukan RBM Maros, sekali gus memilih kelompok kerja (Pokja) yang bertugas mengelola pelaksanaan RBM ini. Pemilihan Pokja RBM Maros yang berlangsung alot ini akhirnya berhasil menetapkan susunan Pokja diantaranya Muhammad Irdan AB (Ketua), Abdul Haris (Sekretaris), Rijal (Bendahara), Aisya (Koordinator Kesetaraan Gender), Lakatutu (Koordinator CBM), Andi Dainuri (Koordinator Penguatan Kapasitas Masyarakat), dan Ridwan (Koordinator Advokasi dan Hukum). Dalam waktu dekat Pengurus Pokja yang terpilih akan merampungkan kepengurusannya. Lokakarya ini diakhiri dengan penyusunan work plan (RKTL) yang akan dimatangkan pada lokakarya ke-2 yang direkomendasikan pelaksanaanya seminggu setelah pelaksanaan lokakarya pertama.

Profile RBM Kabupaten Maros



LATAR DEPAN

Ruang Belajar Masyarakat (RBM) Maros di dirikan pada tanggal 12 Januari 2011. Melalui lokakarya Pembantukan RBM Maros, segenap pelaku PNPM-MPd, setrawan, dan pemerhati pemberdayaan lainnya yang merasa care dengan proses pemberdayaan yang telah dikembangkan oleh PNPM Mandiri Perdesaan, merasa perlu untuk mensinergikan dan mengakselerasikan proses-proses perencanaan pembangunan reguler sesuai dengan UU Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah dengan model PNPM-MPd.

Di Ruang Belajar Masyarakat (RBM) Maros segenap pelaku berkomitmen mengembangkan kapasitas, sinergi, dan kekuatan dalam membangun, mengakselerasi dan melembagakan system pembangunan partisipatif, sebagai pilihan yang lahir dari tuntutan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menggerakkan segenap lingkungan (masyarakat dan pengambil kebijakan) dikawal melalui proses belajar (learning process) yang akan menumbuhkan masyarakat pembelajar (learning society) dan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan yang terhimpun dalam RBM, disertai penguatan control (pengawasan) terhadap ketaat asasan proses-proses pelaksanaan pembangunan dan kebijakan public yang partisipatif, transparent, akuntabel melalui kegiatan advokasi.

Diharapkan proses pembangunan dapat terakselerasi, terintegrasi dan berbasis kepada kebutuhan pemberdayaan masyarakat dengan peran masyarakat dalam menangani permasalahan pembangunan yang makin kompleks, selain itu proses pengorganisasian masyarakat dari tingkat desa, kecamatan dan Kabupaten diharapkan akan membangun norma yang lebih besar, efektif dan efisien. Berdasarkan bottom line argument diatas RBM Maros hadir untuk membuka dan mengembangkan ruang-ruang partisipasi masyarakat dimana hak-hak dan kesempatan masyarakat untuk belajar dan mandiri dapat lebih dihargai, dan kebijakan public dapat lebih berkualitas.


MISI

Terbentuknya sistem yang memungkinkan terjadinya keberlanjutan proses belajar kolektif masyarakat

Tersedianya sarana dan prasarana pendukung untuk menunjang kebutuhan peningkatan kapasitas masyarakat

Berkembangnya kegiatan berbasis pengalaman lokal yang memungkinkan terjadinya proses belajar kolektif masyarakat

Diperkuatnya jiwa, peran dan tugas pelaku dalam rangka pengembangan ruang belajar

Dikembangkannya tempat pelatihan masyarakat di desa, kecamatan dan kabupaten


MODEL KEGIATAN

1.       Lokakarya atau workshop
2.       Pelatihan bentuk klasikal
3.       Kampanye, sosialisasi, iklan
4.       Pengembangan media, penulisan dan penerbitan, gelar kapasitas pelaku, pemberian penghargaan atas kinerja


SASARAN KEGIATAN

Terbentuknya ruang belajar bersama masyarakat perdesaan di lingkup kabupaten:

Tersedia dan berkembangnya “Tenaga Pelatih Masyarakat” di bidang pengawasan, pemeriksaan, penanganan masalah dan bidang khusus lain (jika memungkinkan).

Diterbitkan, dipublikasikan, disiarkan, dikampanyekan-nya hasil-hasil pengalaman terbaik lapangan yang menunjukkan kontribusi dan manfaat langsung dari adanya wahana belajar lokal.

Adanya diseminasi dan kampanye berulang untuk menggugah kesadaran produktif masyarakat.

Terjadinya revitalisasi organisasi kerja masyarakat dalam mendukung terbentuknya wahana belajar di komunitas maupun di kecamatan.


SUSUNAN POKJA RBM MAROS

Ketua : Muhammad Irdan AB
Sekretaris  : Abdul Haris
Bendahara : M Rijal
Koordinator CBM : Lakatutu
Koordinator PKM : Andi Dainuri
Koordinator Advokasi : M.Ridwan
Koordinator Kesetaraan Gender : Aisya

PNPM dan Political Will Pemerintah Daerah

Oleh : Muhammad Irdan AB

Salah satu langkah yang telah dicanangkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, pada tanggal 30 April 2007 lalu, SBY telah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) atas didukungan Bank Dunia.  PNPM adalah kelanjutan dan integrasi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan program sektoral lainnya yang terkait dengan pengentasan kemiskinan serta menjadi bagian dari akselerasi pencapaian target program Milenium Development Goals (MDGs) di Indonesia (Kompas, 1 Mei 2007).

Belajar dari pengalaman penyelesaian masalah kemiskinan di tanah air pada program-program pemerintah sebelumnya yang bersifat parsial dan tidak memiliki efek keberlanjutan, seperti program KUT, KUK, IDT,JPS dan berbagai program bantuan lainnya yang bersifat instant, telah menghasilkan budaya “ketergantungan” yang tinggi. Matinya “sahwat-prkarsa” masyarakat dan inovasi lokal adalah salah satu produk sejarah yang bernama “pemiskinan struktural”. Maka prinsip sustainability dan integratif dari PNPM diharapkan bisa menjadi tumpuan harapan, agar dana “utang” dari Bank Dunia yang diperoleh dengan menjadikan kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat sebagai “garansi”, dapat termanfaatkan secara tepat sasaran dan tidak bias lagi.

Pemberdayaan adalah penyelesaian subtansi masalah kemiskinan dan kobodohan secara sistemik dengan menggerakkan segenap lingkungan dan pelaku melalui pengelolaan kegiatan yang bersifat bottom-up, partisipatif, transparant, akuntabel, terpadu, dan berkelanjutan (Irdan, ”Menggagas Masa Depa Desa Anta Branta”, 2006)

Secara ideal PNPM diharapkan bisa menjadi proses penyadaran, pembelajaran, penguatan kelembagaan dan pemandirian masyarakat dengan menjadikan tahapan-tahapan dan prinsip pemberdayaan sebagai prilaku yang melembaga. Tumbuhnya prakarsa dan inovasi dari bawah dan berkurangnya prilaku ketergantungan masyarakat dari atas, sejatinya menjadi indikator umum dari keberdayaan itu.

Kebijakan PNPM meluncurkan Dana Bantuan Langsung kepada Masyarakat (BLM) sebagai stimulan pemberdayaan yang jumlahnya 13 trilyun dengan sasaran mencapai seluruh desa di Indonesia hingga tahun 2015 (Website PNPM), diperuntukkan untuk membangun infrastruktur dasar berupa prasarana umum, pengembangan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pengelolaan dana bergulir untuk usaha produktif dan simpan pinjam. Pemanfaatan dana ini hanya akan memberi manfaat yang besar bila pengelolaannya bersifat DOUM (Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat), transparant, akuntabel dan auditabel. Karena hal itu berarti mengembalikan hak dan kesempatan mereka untuk menjadi masyarakat pembelajar (learning society) dengan melembagakan diri secara mandiri.

Adapun eksistensi tenaga pendamping ahli (Fasilitator) PNPM, dari tingkat nasional hingga tingkat kecamatan yang telah direkrut secara massal di tanah air, berguna untuk membantu para pelaku utama PNPM dalam proses pembelajaran, penguatan kelembagaan dan sebagai pengawal independent terhadap ketepatan sasaran penyaluran dana ke masyarakat. Namun diharapkan pendampingan ini tidak berlangsung lama, sekedar hanya mengantar dan memfasilitasi tahap awal pemberdayaan itu. Hal ini harus disadari, demi menghindari terjadinya “masturbasi pemberdayaan” dan “ usaha pendampingan berkelanjutan”, sebagai iklim yang tidak sehat bagi pemberdayaan.

Ada beberapa hal yang sebaiknya menjadi titik perhatian “exit strategi” untuk mengalihkan PNPM sebagai proyek ke PNPM Mandiri yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Pertama, perlunya strategi pengalihan fungsi pendamping (Fasilitator) kepada kader pemberdayaan masyarakat di desa dengan memberikan bekal capacity building dan institusionalisasi building yang memadai kepada mereka. Atau dalam melakukan rekruitment dan seleksi fasilitator, hendaknya PNPM lebih memberi prioritas kepada kader-kader pemberdayaan yang berada di desa. Kedua, strategi pembiayaan dari dana loan sebagai beban negara kepada pembiayaan oleh APBD dan APBDesa, sebab model pemberdayaan PNPM yang telah banyak diakui oleh pemerintah daerah sendiri sebagai “barang bagus” dan telah membangkitkan semangat swadaya masyarakat, bisa di adobsi menjadi model pembangunan yang efektif di daerah. Hal ini tentunya menuntut komitment bersama. Ketiga, strategi pelembagaan musyawarah untuk merawat demokrasi, dari berbagai musyawarah masyarakat yang difasilitasi oleh PNPM ke optimalisasi Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) Desa dan Kecamatan, sebagai sarana penyaluran aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam merencanakan program secara rasional dan realistik. Keempat, Strategi pelembagaan ekonomi masyarakat dari Unit Pengelola Keuangan milik proyek, ke penguatan lembaga keuangan mikro milik masyarakat sebagai asset bersama yang bisa dimanfaatkan secara langgeng utuk membantu permodalan usaha produktif dan usaha simpan pinjam, dengan memberikan bekal keterampilan managerial kepada pengelola secara profesional dan memikirkan bentuk pengembangan lembaganya. Kelima, strategi pelestarian prinsip PNPM agar menjadi prilaku segenap pelaku. Hal yang kelima inilah yang paling penting, sebab pada akhirnya, demi pemberdayaan semuanya akan dikelola langsung oleh masyarakat dengan dukungan political will dari pemerintah daerah. Rumusnya sangat sederhana, yakni “tidak akan berubah nasib masyarakat, kalau bukan masyarakat sendiri yang merubahnya”. Perubahan itu harus dimulai dari dalam diri masyarakat. Istilah kerennya “masyarakat yang utama”.

Untuk mengembalikan posisi masyarakat ke fitrahnya semula sebagai pelaku (bukan sebagai obyek), maka peran pemerintah, pendamping dan pihak lainnya harus ikhlas memposisikan diri sebagai fasilitator, pelayan dan mitra yang mendukung kesuksesan hajat masyarakat. Bukan dengan mendiktekan program secara top-down seperti yang telah diterapkan pada pola-pola sentralistik di masa lalu.

Ada 2 hal yang harus di dorong sebagai prasayarat berhasilnya pelembagaan dan pelestarian prinsip pemberdayaan yang dikembangkan oleh PNPM menjadi model pembangunan. Pertama, tumbuhnya kesadaran kritis komunitas masyarakat di pedesaan dan di perkotaan dalam melangsungkan kegiatan pemberdayaan yang dikelola oleh masyarakat sendiri. PNPM saat ini harus mengevaluasi diri, apakah ia telah berada pada tarap membangun “kesadaran kritis” masyarakat, atau hanya pada taraf membangun “kesadaran mekanistis” pelaku. Parameternya sederhana, Jika partisipasi segenap pelaku dalam mengelola program ini didorong oleh kesadaran, tanggungjawab, inovasi dan inisiatif yang tinggi, serta menjadikan prinsip-prinsip pemberdayaan sebagai prilaku, maka itu indikator tumbuhnya kedasaran kritis.

Akan tetapi kalau partisipasi itu bersifat mobilisasi, hanya sekedar tuntutan “blue print” atau pemberdayaan prosudural untuk memenuhi standarisasi dari atas, dan didorong oleh aktivitas “mengejar target” sasaran jangka pendek atau progress proyek semata, tanpa harus memahami substansi kebutuhan dan permasalahan, maka yakin itu hanyalah “kesadaran mekanistis”, bahkan “kesadaran naif”. Disini perlu di bedakan, mana “Pemberdayaan” dan mana “Paket Pemberdayaan”. Dan untuk men set-up kondisi ideal itu, dibutuhkan fasilitator yang handal dan berkualitas, yang lahir dari proses internalisasi “pemberdayaan” yang kredibel, berjati diri dan punya semangat kerelawanan (volunterisme) yang tinggi. Ini sekaligus menjadi parameter sistem rekruitment dan pembekalan fasilitator PNPM, apakah prosesnya sudah berlangsung secara fair, ideal, kredibel, dan profesional? Jawabannya ada pada realitas lapangan.

Kedua, perlunya political will dan political action pemerintah daerah untuk melembagakan PNPM secara sistemik sebagai sebuah model pembangunan (pemberdayaan masyarakat) dengan belajar dari segenap kelemahannya dan berupaya menyempurnakannya sesuai dengan kondisi lokalitas. Ini sangat terkait dengan paradigma pembangunan yang dianut oleh sebuah pemerintahan di daerah, apakah pemerintahan tersebut menganut paradigma “pemberdayaan dan pelayanan” atau masih paradigma “kekuasaan-sentralistik”. Bila model ideal pembangunan PNPM untuk mengentaskan kemiskinan ini dianggap menjadi “beban” daerah dengan alasan masih banyak kebutuhan yang lebih urgent untuk difikirkan, maka itu bisa menjadi cerminan paradigma pembangunan yang sementara dianut oleh sebuah daerah. Pertanyaannya adalah kebutuhan apa yang lebih urgent dari pada mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat secara merata ?

Saat ini ada semacam skeptisme masyarakat terhadap pemerintah di berbagai daerah, apakah pembangunan model DOUM itu bisa berlanjut tanpa intervensi proyek ? Skeptisme itu cukup beralasan jika kita melihat realitas beberapa daerah yang terkesan “setengah hati” menerima model ini. Keinginan untuk menjadikan PNPM Mandiri sebagai model pembangunan misalnya, berarti membutuhkan keswadayaan daerah dimana pemerintah daerah memiliki tanggungjawab memikirkan pembiayaannya secara full grant dari APBD ditambah dengan swadaya masyarakat. Namun jangankan program semacam ini dibebankan kepada daerah secara utuh, semisal kewajiban untuk mendampingi dana loan PNPM saja dalam bentuk cost sharing sebesar 20 % saja, realitas menunjukkan ini telah menjadi beban bagi beberapa daerah bahkan kerap kali mengemuka di media massa banyak daerah “bermasalah” dalam merealisasikannya, apatah lagi mau menjadi PNPM Mandiri.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ini memang persoalan kemampuan daerah ? atau permasalahan politicall will ? Barangkali ini masih perlu di kaji lebih dalam. Sebab jika kita melihat realitas pembelanjaan ABPD berbagai daerah di Sulawesi Selatan menurut hasil kajian LaPS (Lembaga Pengembangan Suberdaya), pada umunya masih belum berorientasi kepada kepentingan pemberdayaan masyarakat miskin. Kenyataan juga menunjukkan tingginya in-efisiensi anggaran baik pada belanja langsung, maupun belanja tidak langsung, yang bila dilakukan efisiensei, penghematan, serta mencegah kebocoran sedikit saja, maka sebenarnya dapat dipakai untuk memberdayakan masyarakat. Dan bukankah salah satu prinsip pemberdayaan itu adalah menyelesaikan masalah sesuai kebutuhan dan kemampuan (secara rasional dan realistik) ?

Tanpa berpretensi untuk menggeneralisir masalah dan menyalahkan salah satu pihak terhadap belum terakselerasinya pemahaman, kebijakan dan pengelolaan kegitan “Pemberdayaan Masyarakat” , yang memang mebutuhkan proses eksplorasi panjang dan cukup melelahkan, diharapkan adanya inisiatif dan inovasi daerah terutama politicall will eksekutif dan legislatif di daerah untuk duduk bersama dengan segenap stakeholders lintas sektoral membangun akselerasi pemahaman, regulasi, kebijakan dan aksi nyata untuk menyediakan ruang seluas-luasnya bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Karena hanya kebijakan yang smart dan visioner-lah yang bisa menangkap peluang menerobos krisis yang langsung menohok ke substansi permasalahan dan kebutuhan rakyat banyak. Peluang itu sudah ada di tengah-tengah kita, yakni semangat (girah) masyarakat untuk berswadaya, supporting PNPM dan program lainnya, perhatian dunia luar, dan kesediaan daerah pedesaan dan perkotaan untuk otonom. Sekali lagi, adakah kebutuhan yang lebih urgent dari pada mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat secara merata ? Jawabnya ada pada political will.